Senin, 03 Agustus 2009

Korupsi di Indonesia, Sebuah KLB

Ada banyak pengertian dan definisi tentang korupsi, tergantung dari perspektif mana kita mendefinisikannya. Bisa dari perspektif legal, ekonomi, atau politik. Secara umum pengertian korupsi harus diletakkan dalam ranah publik. Artinya kalau Anda menggelapkan uang ayah atau paman Anda, itu tidak bisa digolongkan sebagai korupsi, itu namanya penipuan atau pencurian biasa. Pengertian korupsi sebenarnya selalu melekat dalam konteks publik.

Kata korupsi berasal dari bahasa latin corruptio atau corruptus. Dari bahasa latin itulah turun ke banyak bahasa Eropa seperti Inggris : corruption, corrupt; Perancis : corruption; dan Belanda : corruptie. Dari bahasa Belanda inilah kata itu turun ke bahasa Indonesia menjadi kata “korupsi”. Berdasarkan The Lexicon Webster Dictionary, arti harfiah dari kata tersebut adalah kebusukan, keburukan, kebejatan, ketidakjujuran, dapat disuap, tidak bermoral, penyimpangan dari kesucian, kata-kata atau ucapan yang menghina atau memfitnah. Sedangkan Kamus Umum Bahasa Indonesia memberikan pengertian kata korupsi sebagai perbuatan yang buruk seperti penggelapan uang, penerimaan uang sogok dan sebagainya. Kamus Hukum juga memberikan pengertian korupsi sebagai penyelewengan atau penggelapan uang negara atau perusahaan sebagai tempat seseorang bekerja untuk keuntungan pribadi atau orang lain.

Beratnya korupsi berbeda-beda, dari yang paling ringan dalam bentuk penggunaan pengaruh dan dukungan untuk memberi dan menerima pertolongan, sampai dengan korupsi berat yang diresmikan, dan sebagainya. Titik ujung korupsi adalah kleptokrasi, yang arti harafiahnya pemerintahan oleh para pencuri, di mana pura-pura bertindak jujur pun tidak ada sama sekali. Transparency International mendefinisikan korupsi sebagai perilaku pejabat publik, baik politikus, politisi maupun pegawai negeri, yang secara tidak wajar dan tidak legal memperkaya diri atau memperkaya mereka yang dekat dengannya, dengan menyalahgunakan kekuasaan publik yang dipercayakan kepada mereka.

Korupsi dan kekuasaan, ibarat dua sisi dari satu mata uang. Korupsi selalu mengiringi perjalanan kekuasaan dan sebaliknya kekuasaan merupakan “pintu masuk”bagi tindak korupsi. Inilah hakekat pernyataan Lord Acton, guru besar sejarah modern di Universitas Cambridge, Inggris, yang hidup di abad 19. Dengan adagiumnya yang terkenal ia menyatakan: power tends to corrupt, and absolute power corrupt absolutely (kekuasaan itu cenderung korup, dan kekuasaan yang absolut cenderung korup secara absolut).

Ada postulat yang mengatakan korupsi mengikuti watak kekuasaan. Jika kekuasaan berwatak sentralistis, korupsi pun mengikutinya berwatak sentralistis. Semakin tersentral kekuasaan, semakin hebat pula korupsi di pusat kekuasaan itu. Jenis ini ditemukan di masa Orde Baru. Sebaliknya, jika yang terjadi adalah otonomi, seperti otonomi daerah, maka korupsi pun mengikutinya sejajar dengan otonomi tersebut. Karena kekuasaan berpindah dari satu pusat kekuasaan ke banyak pusat kekuasaan yang otonom, korupsi pun mengikutinya berpindah dari satu pusat kekuasaan kepada banyak pusat kekuasaan. Jenis ini dialami sekarang, di zaman pasca Orde Baru. Bisa dibayangkan jika yang terjadi otonomi yang seluas-luasnya. Menurut postulat ini, korupsi pun akan mengikutinya: juga terjadi seluas-luasnya di banyak pusat kekuasaan yang otonom itu.

Amien Rais, membagi jenis korupsi yang harus diwaspadai dan dinilainya telah merajalela di Indonesia ke dalam empat tipe :

Pertama, korupsi ekstortif (extortive corruption). Korupsi ini merujuk pada situasi di mana seseorang terpaksa menyogok agar dapat memperoleh sesuatu atau mendapatkan proteksi atas hak dan kebutuhannya. Sebagai misal, seorang pengusaha terpaksa memberikan sogokan (bribery) pada pejabat tertentu agar bisa mendapat ijin usaha, perlindungan terhadap usaha sang penyogok, yang bisa bergerak dari ribuan sampai miliaran rupiah.

Kedua, korupsi manipulatif (manipulative corruption). Jenis korupsi ini merujuk pada usaha kotor seseorang untuk mempengaruhi pembuatan kebijakan atau keputusan pemerintah dalam rangka memperoleh keuntungan setinggi-tingginya. Sebagai misal, seorang atau sekelompok konglomerat memberi uang pada bupati, gubernur, menteri dan sebagainya agar peraturan yang dibuat dapat menguntungkan mereka. Bahwa kemudian peraturan-peraturan yang keluar akan merugikan rakyat banyak, tentu bukan urusan para koruptor tersebut.

Ketiga, korupsi nepotistik (nepotistic corruption). Korupsi jenis ini merujuk pada perlakuan istimewa yang diberikan pada anak-anak, keponakan atau saudara dekat para pejabat dalam setiap eselon. Dengan preferential treatment itu para anak, menantu, keponakan dan istri sang pejabat dapat menangguk untung yang sebanyak-banyaknya. Korupsi nepotistik pada umumnya berjalan dengan melanggar aturan main yang sudah ada. Namun pelanggaran-pelanggaran itu tidak dapat dihentikan karena di belakang korupsi nepotistik itu berdiri seorang pejabat yang biasanya merasa kebal hukum.

Keempat, korupsi subversif. Korupsi ini berbentuk pencurian terhadap kekayaan negara yang dilakukan oleh para pejabat negara. Dengan menyalahgunakan wewenang dan kekuasaannya, mereka dapat membobol kekayaan negara yang seharusnya diselamatkan. Korupsi ini bersifat subversif atau destruktif terhadap negara karena negara telah dirugikan secara besar-besaran dan dalam jangka panjang dapat membahayakan eksistensi negara.

Bagaimana korupsi hari ini? Korupsi belum berhenti bahkan mungkin semakin berkembang keseluruh pelosok negeri. Mengapa demikian? Karena tindak pidana korupsi sangat berbeda dengan tindak kejahatan-kejahatan lainnya. Pengedar narkoba, pencuri, perampok, pencopet atau yang sejenisnya mudah untuk dilakukan penangkapan, namun korupsi sulit untuk dilakukan penangkapan, karena korupsi sifatnya tersembunyi dan melibatkan beberapa pihak. Mega-mega korupsi banyak melibatkan kalangan atas, orang-orang ”pintar”, orang-orang berdasi, kalangan ”terdidik”. Korupsi menjanjikan hidup kemewahan bagi pelakunya, sehingga kadang-kadang dapat membalikkan niat para petugas pemberantasan korupsi menjadi pelaku korupsi.

Begitu kronisnya penyakit korupsi di Indonesia sehingga menempatkan kita pada realita kehidupan yang sangat menyedihkan. Departemen Agama RI yang seharusnya mengurusi pembangunan mental (hati) bangsa adalah salah satu departemen terkorup di negeri ini. Kemudian Departemen Pendidikan RI yang seharusnya mengurusi usaha mencerdaskan bangsa (otak) juga merupakan salah satu departemen terkorup. Demikian juga Departemen Kesehatan RI yang seharusnya mengurusi kesehatan secara fisik bangsa Indonesia juga salah satu Departemen Terkorup di negeri ini.

Telah banyak usaha yang dilakukan untuk memberantas korupsi, namun sampai saat ini hasilnya masih tetap belum sesuai dengan harapan masyarakat. Ibarat wabah demam berdarah dengue (DBD), korupsi kini telah memasuki arena Kejadian Luar Biasa (KLB). Mengingat fenomena perkorupsian di Indonesia kini telah memasuki zone Kejadian Luar Biasa (KLB), maka pendekatan pemberantasan korupsi juga harus dipilih cara-cara yang luar biasa (extra ordinary approach). Disamping cara-cara yang luar biasa juga harus dipilih sasaran tembak yang tepat, diantaranya memerangi instrument penting seperti memerangi mafia peradilan.

Aaf Kurniawan (01)

Agus Sulistiyo (02)

Ali Sutopo (03)

untuk informasi lebih lanjut,silakan menghubungi Agus di 08569833132 atau asulistiyo@gmail.com

Tidak ada komentar: